This website is the archive for our old blog

Please visit our main page for the latest update

Lilypie 3rd Birthday Ticker

Sunday, May 15, 2005

2nd Month Birthday in the Pool

Today is Noe's 2nd month birthday and we celebrated it in a swimming pool. It is a historic moment for Noe, as it was his first time dipping into a swimming pool.

He seemed to enjoy being in the water. He didn't cry at all! He was not really playful in the water though, but it seemed that he tried to understand and to enjoy the sensation of being in the water and having water running on his skin surface!

This is a good sign, and we decided to make swimming and dipping in a pool a regular event for our little family.

This weekend Olin + Clemens, who are getting married next week, visited us at home. Clemens seemed to be ready for babies, and Noe liked to be carried by Clemens!

And Noe also really enjoyed being carried by Patrick, when he came to visit us today.


Yesterday I also cooked several dishes. Firstly, I made klepon, or also known by Singaporean as onde-onde. It's basically glutinous rice balls filled with coconut sugar that explode and melt in your mouth. And for this edition, I made it blue in color, unlike the usual green"


Yes, it is indeed BLUE in colour

Next, I sucessfully (*BOAST*) made gudeg. Gudeg is one intricate Javanese food that takes six or more hours to cook. Basically you cook chicken, jackfruit, egg with the herbs and coconut milk over very small fire. And I managed to make it in six solid hour, the taste is quite similar to traditional gudeg.


Here it is, look at the beautiful brown colour of gudeg...

Then, to make use of some leftover tempe, I made sambal tempe, which is Indi's favourite.


Finally, I tried to make Balinese Sate Lilit.


Although the taste is really close to original Balinese Sate Lilit, I could not make solid chunk of dough because I was using cooked canned tuna. I should've used fresh raw fish, since raw fish is still sticky, and not crumbly like the cooked fish. And since the Sate Lilit couldn't hold its shape, in the end the crumbly dough broke apart. The end result is Serundeng Bali (dry flakes made of coconut) instead of a solidly formed Sate, but still, it tasted good.



Read the full article...

Wednesday, May 11, 2005

1978-1990 Part 2 - Taruna Bakti

WARNING: Artikel ini panjang banget, makanya tulisannya dibikin kecil.

Sesuai dengan permintaan Yanti, akhirnya gue coba bikin tulisan singkat mengenai Sekolah Taruna Bakti sampe taun 1990. Maklum, kita bersekolah di tempat yang sama. 1978-1990 adalah kurun waktu sampe gue lulus SD.

Semenjak TK sampe SMP gue bersekolah di Taruna Bakti atau yg dikenal dengan sebutan TB. Sekolah TB sama-sama di jalan Riau, 500 meter dari rumah kita. Setiap hari kita jalan kaki ke sekolah, melewati Bengkel Jalan Riau 32, Apotik Utari, menyebrang Jalan Banda, lewat kantor pos, The British Institute, Ayam Bengawan Solo, Toko Riau, Toko Dick’s, kantor Kompas, dan sekolah Yahya.

Saking deketnya rumah dan sekolah, sewaktu SMP, kalo gue kebelet boker gue akan LARI sejadi-jadinya ke rumah pas jam istirahat. Lima menit lari, lima menit boker plus cebok, dan lima menit lari balik ke sekolah, pas jam masuk. Dan saking deketnya rumah dengan sekolah pula, gue jadi biang telat di sekolah, karena selalu dateng ke sekolah pada menit menit terakhir.

Gue masuk TK TB tahun 1982 kalo ga salah. Tahun 1982, TK blom pake seragam ijo kayak sekarang. Baru tahun 1983 seragam ijo untuk TK mulai diterapkan.



Rani dengan seragam TK barunya

Selama TK dan juga awal-awal SD, gue ke sekolah berjalan kaki dianter oleh mbak Sita, mbak Nuning, atau tante Dinda, tiga cewek yang waktu dulu tinggal bareng kita di rumah sambil menempuh kuliah di Bandung. Kadang pembantu kita, Bik Wat, Bik Lilies, Bik Titiek, atau Bik Ecih juga nganterin ke sekolah. Masuk kelas 3 gue udah jalan kaki ke sekolah sendiri.

Di TK, setiap kali mau masuk kelas, kita semua berbaris depan kelas. Kadang kadang kita harus nunjukin tangan kita, apakah kukunya panjang dan kotor atau pendek dan bersih(begini terus sampe kelas 3-4 SD!). Dan gue dulu selalu baris di paling depan, karena memang selalu jadi anak paling pendek di kelas (hiks hiks.. begitu terus sampai lulus SD!). Abis itu, guru TK akan memukul rebananya dan kita semua masuk kelas dengan bergerak-jalan sesuai irama tepukan rebana ibu guru.

Setelah duduk di kelas, session dimulai dengan berdoa bersama. Doanya begini (..dengan intonasi anak-anak TK yang membaca bersama-sama bagaikan Koor):

Oh Tuhanku, lindungilah diriku, ayah ibuku, saudara-saudaraku. Bagi teman-teman yang sakit, semoga lekas sembuh dan dapat sekolah lagi, AMIN!
(dengan penekanan dan teriak di kata AMIN).
Doanya gak spesifik agama tertentu, karena sekolah TB itu sekolah swasta sekuler.

Abis berdoa, dimulailah kegiatan-kegiatan yang lumrah dilakukan di TK-TK lainnya, seperti main hitung-hitungan, main lilin malam, menyanyi-nyanyi, belajar membaca (Waktu dulu TK masih longgar syarat masuknya, gak mesti sudah bisa baca. Sementara jaman sekarang, katanya, kalau mau masuk TK harus udah bisa baca. Gila apa? Kan tugasnya sekolah ngajarin baca!). Di pelajaran menyanyi, kita diajarin lagu “Bangun Tidur”

Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong ibu membersihkan tempat tidurku
Nah waktu belajar lagu ini, gue protes ke guru, “Bu Guru, Ibuku ga pernah membersihkan tempat tidurku. Yang membersihkan selalu Bik Wat (pembantu)”. Ibu guru cuman bisa bengong. Yah memang jaman dulu belum lumrah punya ibu wanita karir yang gak ngerti cara bersih-bersih rumah, kali ya?

Terus, abis jam pelajaran, ada session istirahat juga, di mana kita main2 ke halaman sekolah, memanjat-manjat, main perosotan, atau main jungkat jungkit.

Kadang kita juga bermain dalam kelompok. Salah satu permainan berkelompok adalah Slepdur, kalau versi jaman sekarangnya tuh Ular Naga. Pada dasarnya, dua orang dipilih untuk membuat “gerbang” dengan tangan mereka, dan anak-anak lain berbaris berpegangan seperti ular. Terus semuanya bernyanyi, dan siapa yang ketangkep oleh “gerbang” harus keluar dari barisan ular. Lagunya seperti ini:

Slepdur, Slepdur, Timan timan ondedur, delat devandedur. Eni mandedur, mandedur KAKAPITEN!
Nah pas “Kakapiten” ini gerbang tangan menutup dan menangkap satu anak. Sumpah, sampe sekarang gue gak ngerti kata-kata yang dinyanyikan di lagu Slepdur itu. Mungkin lagu itu adalah warisan turun temurun dari lidah ke lidah yang aslinya bahasa Belanda, dan versi di atas adalah yang udah “bastardised and corrupted” oleh lidah anak-anak Bandung.

Pada jam istirahat ini kita juga menghabiskan bekal yang dibawa dari rumah. Biasanya roti pake mentega dan meses. Nah ini jadi ajang pamer-pamer isi bekal, tempat bekal, dan tempat minum. Bangga banget gue dulu waktu punya tempat minum yang bentuknya kayak Walkie Talkie dan antenanya adalah sedotannya.

Kadang-kadang ada juga pembagian susu di sekolah, untuk promosi produk susu dan juga untuk kesehatan anak-anaknya. Dulu yang dibagikan tuh Sustagen HP dan Milo. Kita semua disuruh berbaris untuk menerima satu gelas susu. Dan gue, dengan naif-nya, nanya, “Ibu guru, gelas susu-nya udah bekas ya? Soalnya waktu dulu dibagi susu, gelasnya juga sama”. Ibu guru ketawa aja, karena sebenernya gelas plastik susu itu sekali buang, tapi karena ‘imprint’-nya sama melulu, seakan-akan gelas-gelas yang dulu dipake lagi.

Lantas waktu TK juga ada pelajaran kesehatan gigi. Dimulai dengan dikasih larutan berwarna pink yang rasanya manis untuk dikumur-kumur – dari sini dokter gigi akan ngeliat apakah ada timbunan plak kalau kita males gosok gigi. Abis itu, satu kelas berdiri di depan wastafel besar dan rame-rame gosok gigi dengan pasta gigi manis warna pink yang mengandung fluoride. It was really fun!

Kemudian tibalah saatnya pulang. Setiap hari, session TK selalu ditutup dengan menyanyikan lagu ini:

Geylang sipaku geylang, geylang sirama-rama.. Mari pulang, marilah pulang, marilah pulang, bersama-sama!
Dan abis nyanyi kita semua berdoa lagi, mirip dengan doa di pagi hari tapi tentu isinya adalah terimakasih dan kita semua mau pulang. Sayang gue lupa persisnya gimana doa-nya. Kalo ada yang inget, tolong ditulis di Comments di bawah.

Guru TK nol kecil gue adalah Ibu Sukasah, yang keibuan tapi juga tegas (didikan Belanda!). Pernah sekali gue dimarahin ibu Sukasah, karena menggigit Leonardi, temen TK yg lain. Sedih banget dimarahin, karena gue gigit Leo bukannya tanpa alasan, tapi karena Leo nakal banget ke gue! Tapi abis dimarahin bu Sukasah, gue sadar kalo kekerasan bukanlah jawaban untuk menyelesaikan konflik.. malu maluin banget kan sampe main gigit gigitan sementara masalahnya bisa diselesaikan dengan ... ngadu aja ke guru! Anyway, bu Sukasah nyuruh gue dan Leo berdamai dengan mengkaitkan jari kelingking. Sampe sekarang gue masih simpen raport TK gue, dan kejadian ini terekam di raport itu.. betapa memalukan!

Terus ada juga kejadian lain yang memalukan.. yaitu.. ngompol di sekolah! Yang gue inget, karena ngompol itu, celana dalem gue jadi harus dicuci. Dan kalau ga salah, sementara celana dalam gue dicuci, gue disuruh pake celana dalem ekstra milik ibu guru.. (Tentunya mereka membawa spare-underwear kalau-kalau dapet mens. Tetapi... I really hope that my memory is wrong! Because I’m not sure about my memory on this, it seems unlikely that I wore a granny’s underwear of Ibu Sukasah.. maybe Ibu Sukasah was just kidding at that time).

Kejadian lain yg gue inget waktu TK adalah meletusnya gunung Galunggung, yang menyebabkan hujan abu seantero Bandung. Walhasil, pergi ke sekolah harus pake masker supaya abu Galunggung gak masuk ke pernafasan.

Masuk TK nol besar, gue udah lebih ‘behaved’. Gurunya adalah Ibu Sri, guru muda seumuran mahasiswa yang baiiiiiiiiiiiiik buanget (dia juga temannya mbak Nuning).

Sewaktu TK, pada tanggal 21 April kita disuruh pake baju daerah, karena hari itu hari Kartini (apa coba hubungannya, hari Kartini dengan baju daerah????). Gue inget waktu itu gue nangis-nangis karena baju daerah yang gue pake bukan baju kebaya ibu Kartini, melainkan kebaya Aceh. Gue pikir, hari Kartini, kebayanya harus kebaya Kartini juga dong!


Rani dengan baju Aceh. Di samping ada yang pake baju Kartini beneran, makanya Rani jadi ngiri. Di belakang duduk Nasca, di sisi kanan foto Djaka

Lulus TK, masuklah gue ke SD TB. Gue masih inget deretan wali kelas dari kelas 1 sampe kelas 6, yaitu: Ibu Sri (yang ini udah tua), Ibu Astuti – mantan kepala sekolah, Ibu Iswari – yang terkenal super duper galak, Ibu Tetty – orangnya kecil, baik dan ceria, Ibu Maria – galak, didikan belanda, dan akhirnya, Ibu Hong – orangnya pendek agak gemuk dan baiiik sekali. Selain itu ada Pak Endin guru agama Islam, Ibu Betty guru musik, Pak Aam dan Pak Budi guru olah raga.

Sebelum sekolah mulai, kita wajib beli buku2 pegangan di toko buku Cosmos (lupa di daerah mana di bandung). Konon, menurut cerita Ibu gue, setiap hari gue selalu bawa semuaaaaaa buku pelajaran. Jadinya, tas sekolah gue selalu paling banyak buku dan paling berat, karena isinya semuaaa buku pelajaran yang ada. Mengapakah hal ini terjadi? Usut punya usut, si Rani gak tahu bahwa ada yang namanya Daftar Pelajaran, di mana setiap hari terdiri dari pelajaran berbeda-beda. Si Rani baru dikasih tau mengenai hal ini pas mulai kelas 3 SD, di mana dia dimarahin oleh ibu Iswari karena membawa semua buku pelajaran. Jadi, selama dua-tiga tahun, si Rani selalu bawa tas yang super berat penuh buku! Sumpah, bodo banget gue.. hehehehe!

(Indi tulis: hehe padahal sampe tahun 2002 pas ambil master di NUS juga masih begitu tuh... semua buku dibawa.... dasar kiasu! )

Waktu akhir kelas satu SD, Ibu ngadain pesta ulang-tahun ke-6 di rumah. Wah seneng banget, ulang tahun dipestain. Ibu nanya ke gue, pestanya mau kayak apa, dan gue langsung bilang, pengen tukang sulap! Ibu lantas mengerahkan bala bantuan tiga cewek (Mbak Sita, Mbak Nuning, dan Tante Dinda) untuk mengatur acara tersebut. Sementara, gue dengan gembira nulis kartu undangan dan menyebarkannya seantero kelas 1. Tiga mbak-mbakku itu bener-bener jago jadi event organizer. Mereka bikin lomba makan kerupuk, balap karung, dan game-game lainnya. Seru banget, gue seneng banget!



Acara ulang taun di halaman rumah (ki-ka) Rafika, Iik, Desi, Reni, Celia

Sehabis lomba dan makan siang, anak-anak dihibur dengan badut-badut. Dan abis itu, puncak acaranya adalah... sulap Mr. Robin! Wah seneng banget deh bisa liat sulap dari sedekat itu! Gue inget banget, waktu itu Edy (Susanto) disuruh ke depan panggung, dan disuruh berdiri di atas kursi, membelakangi penonton. Dan apa yang dilakukan Mr. Robin? Dia bikin Edy bertelor! Wah bener-bener gue sampe ternganga ngeliatnya. Betul-betul pesta ulang tahun yang berkesan banget!

Catatan samping: Edy “Khemod” Susanto, temen setia dari TK sampe SMP, yg sekarang udah lewat Senirupa ITB (Sekarang dia sibuk di Biosampler). Dari kecil emang terkenal sebagai cowok asertif dan berani untuk maju ke depan, dia tau dia suka jadi pusat perhatian. Makanya waktu SD dia bertugas jadi pemimpin upacara bendera. Edy ini juga “pacar” pertama adek gue, si Iik. Waktu gue dan Edy kelas empat, Edy ngirim kartu valentine ke Iik, yang waktu itu kelas dua SD. Meskipun si Iik berusaha untuk diem-diem mengenai peristiwa “kartu valentine” ini, sekeluarga tetep tahu, karena Edy suka nongkrong bareng Mas Dedek di Taman Lalu Lintas untuk main skateboard dan sepeda BMX (oh... tahun 80an sekali!), dan di kalangan anak2 nongkrong itu jadilah si Edy dikenal sebagai Edy Khemod Valentine...
OK, balik lagi ke sekolah. SD masuk jam 7 pagi dan dimulai dengan baris di depan kelas (yang diikuti kadang-kadang dengan periksa kuku juga). Namun, beda dengan TK, guru di SD gak pake rebana untuk menggiring anak-anak masuk kelas. Di SD, ketua kelas akan kasih komando “bersiap... GRAK!” lalu “Lencang depan ... GRAK” atau “Setengah lencang depan... GRAK” dan akhirnya “Maju.... JALAN!”. Dan seperti biasa, gue selalu baris di paling depan, sebagai anak terpendek di kelas... terus menerus dari TK sampe kelas 6 SD.. hiks! Setelah masuk kelas mulailah pelajaran-pelajaran. Gak pake acara berdoa dulu kayak waktu TK lagi. Di SD kita belajar untuk duduk rapi dengan menyilangkan tangan di atas meja, gak seperti di TK yang lebih bebas. Kemudian, setiap kali guru masuk kelas, para murid akan berpaduan suara memberi salam, “Selamat pagi ibu guru!”. Kemudian pelajaran dimulai, nothing special about it.... Kadang2 bel berdentang satu kali, menandakan satu jam pelajaran selesai. Dari jam 7 sampe jam 9 kalo gak salah ada 4 jam pelajaran @ 30 menit (kalo ga salah)



Foto pas pelajaran PKK di kelas 6 SD. Di belakang: Lingga dan Angga. Di depan: Rani dan Edy Khemod

Pas kelas 1 SD kita sempat pake buku pelajaran Bahasa Indonesia “Bahasaku”, kalau ga salah terbitan balai pustaka. Gue suka banget buku pelajaran ini, karena gambarnya bagus (keliatan gambar dari jaman belanda gitu), dan cerita-cerita mengenai si Sudin di buku ini juga bagus sekali. Dan bahasa Indonesia, secara hakiki murni dan indah, diajarkan oleh buku itu (gak kayak bahasa Indonesia ancur yang gue pake sekarang atau bahasa yang ditemui di media-media jaman sekarang yang udah campur aduk dengan terjemahan bahasa inggris). Oiya, Rio juga nulis tentang "Bahasaku" di blog dia.

Naik kelas dua, kita udah gak pake buku “Bahasaku” lagi, entah mengapa. Sedih juga, sebab di buku “Bahasaku” cerita si Sudin itu sambung menyambung. Jadi aja, ceritanya terputus. Di kelas dua, kita berkenalan dengan tokoh Budi, kakaknya Wati, dan adiknya Iwan. Nah di sini kita belajar kalimat sebagai berikut:

“Ini Budi. Ini Bapak Budi. Bapak Budi bekerja di kantor. Ini Ibu Budi. Ibu Budi memasak di dapur”
Nah, suatu waktu, kita ditugasin menulis seperti di atas, tetapi nama Budi diganti dengan nama sendiri. Sampe di kalimat “Ibu Rani memasak di dapur” gue protes ke Bu Guru:

“Ibu Guru, Ibuku gak pernah masak di dapur”.

“Oh ya? Jadi siapa yang masak di rumahmu?”

“Bik Wat yang masak”

“Ibumu gak ikut masak?”

“Ibu setiap hari ke rumah sakit. Jadi harusnya ‘Bapak dan Ibu Rani bekerja di kantor’ dan ‘Bik Wat memasak di dapur”
Sekali lagi, nampaknya jaman dulu belum lumrah punya ibu wanita karir ya? Untung Ibu Guru dengan baik ngebolehin gue menulis seperti apa yang gue mau.

Yah memang, si Rani dari kecil terkenal tukang protes dan tukang tanya ke guru-guru. Sampe akhirnya, kelas lima SD gue menanyakan sesuatu yang gurunya gak bisa jawab. Entah mengapa, mungkin saking malunya ga bisa jawab atau mungkin dia lagi PMS, guru itu jadi marah banget, bibirnya bergetar kayak mau marah, dan berkata “Pertanyaan macam apa itu! Lain kali, kalo nanya mikir dulu!”. Wah gue kaget dan sedih banget dibilangin kayak gitu, karena waktu itu gue inget banget, gue nanya murni karena keingintahuan gue akan sesuatu hal (gue lupa persisnya apa yang gue tanya tapi yang jelas bukan sesuatu yang cabul atau subversif). Tapi walhasil, reaksi PMS si ibu guru itu cukup membuat trauma kali ye? Semenjak itu, gue mogok dan tidak pernah lagi bertanya di kelas, karena takut dianggap goblok. Cukup trauma, hingga sampe sekarang kalo mau bertanya di forum publik pun rasanya malu banget. Gue cenderung bertanya langsung ke seseorang tanpa harus di depan banyak orang, atau membiarkan orang lain bertanya pertanyaan gue. Tetap gue trauma meskipun gue coba bilang ke diri gue, “There’s no such thing as a stupid question!”.. meskipun gue sekarang tau guru gue itu memberi jawaban secara tidak bijaksana! Nah, makanya, ibu-ibu, perlakukanlah anak kecil dengan hati-hati sebab trauma masa kecil bisa berdampak cukup lama lho!

OK, balik lagi ngebahas lingkungan sekolah. Di SD terdapat dua kali waktu istirahat, jam 9.00 dan jam 10.30, kecuali hari Jumat di mana kita semua pulang jam 10.30. Di SD Taruna Bakti, jam masuk dan istirahat ditandai dengan bunyi bel tiga kali. Bel yang digunakan bukan bel elektronik yg bunyinya jelek, melainkan betul-betul lonceng yang ditarik dengan tali. Lonceng ini berlokasi di depan kelas empat, dan satu anak di kelas tersebut ditugaskan untuk membunyikan lonceng pada jam yang udah ditentukan. Nah, sekarang ini, katanya, bel lonceng ini udah gak ada, dan diganti dengan bel elektronik yang jelek bunyinya. Tapi, karena TB terkenal banyak hantunya, katanya, masih ada yang suka denger lonceng berbunyi, apalagi pas maghrib atau malam.... Padahal, loncengnya udah gak ada.

Nah, di waktu istirahat jam 9.00 dan 10.30, anak-anak bermain. Nah di SD ini, mulai keliatan bedanya anak cowok dan cewek. Anak-anak cowok pada main bentengan dan game-game lain yang berbau ‘laki-laki’. Anak-anak cewek main bekel, lompat tali, domikado, damdamdeli, dan game-game lain yang berbau ‘cewek’. Satu-satunya permainan yang lumayan gender-neutral adalah Ucing-Ucingan. Berhubung gue agak kelaki-lakian dan gak bisa main bekel dan lompat tali, ucing-ucingan adalah game kesukaan gue. Ucing-ucingan pada dasarnya adalah satu orang dipilih sebagai Ucing, dan harus menangkap orang lain, yang kemudian menjadi Ucing berikutnya. Ada berbagai macam ucing-ucingan: ucing-ucingan biasa – seperti yang disebut di atas, ucing sumput – yaitu mencari orang-orang sembunyi, ucing Kup – yaitu berpose “Kup” supaya aman dari kejaran si Ucing dan selama dalam pose “Kup” gak boleh gerak atau kedip sama sekali. Dan berbagai macam variasi dari Ucing-ucingan, tergantung kreativitas si anak.

Domikado dan damdamdeli adalah juga permainan kesukaan gue, yaitu dua contoh permainan berdasarkan “nursery rhymes” atau lagu yang liriknya asal-asalan, dan diikuti dengan tepukan-tepukan tangan baik berduaan ataupun rame-rame dalam formasi melingkar.

Domikado lagunya begini:

Do, mikado, mikado, eska, eskado, eskado beya beyi, cis cis, one-two-three-FOUR!
Damdamdeli lagunya begini:

Damdam deli, damdam owe owe, cis cis deli cis cis owe owe, jimi jimi takabel, takabel, IS DED!
Ada juga game “Evaluasi” yang lagunya seperti ini:

E-VA-LU-A-SI! Mama sigambreng, Cici mauwak! Mama sigambreng, Cici mauwak! Ah, Ih, Ala desa desih! Ah, Uh, Ala desa desuh! Dua belas, jadi patung, oleh-oleh dari bandung... (dst lupa liriknya...)
Ada juga nyanyian-nyanyian yang seperti ini:

Aminah beli buku, buku gambar, gambar jeruk, jeruk manis, manis gula, gula jawa, jawa tengah, tengah laut, laut biru.. (dst dst gak abis-abis lagunya)
Atau

Ibuku Lady Diana, Papaku Pangeran Charles, Nenekku Elizabeth Ratu Inggris! (What a nonsense hehehehe!)
Oya, di SD kita gak main “Slepdur” lagi, karena kita anggap itu permainan anak kecil, anak TK.

Selain main game-game di atas, kita juga menghabiskan waktu istirahat dengan makan dari kantin yg dikelola oleh pak Endang. Tiap jam istirahat, rusuhlah kantin, karena anak-anak mulai dari kelas satu sampai enam SD gabruk ke kantin yang lebar meja counternya cuma 4 meter. Dan karena gue kecil, gue suka males ke kantin karena pasti kedesak dengan anak yang gede2. Baru mulai kelas 3 gue mulai jajan di kantin karena udah lebih tinggi badannya. Jajanan yang dijual di sana macem-macem, yang populer adalan Nasi Kuning yang dibungkus kertas dan daun pisang. Selain snack ‘corporate’ seperti Chiki, Taro, Mamee, Kripkrip dan Mi Kering (lupa namanya apa, keluaran Indomie), dijual juga snack2 tradisional seperti kerupuk pedes dan gulali. Juga ada siomay kering dan siomay basah yang dimakan dengan saos pedes warna merah menyala. Dan harganya, kalau diliat dengan ukuran sekarang, gila banget! Sebatang gulali Rp 50,-. Kripkrip harganya Rp 100 per tiga biji. Dan banyak lagi barang barang seharga Rp 25. Murah banget kan? Iya lah, jaman dulu uang rupiah pun ada Rp 5,- dan Rp 10,-, uangnya dari bahan yang ringan (alumunium kali ya?) dan bergambar keluarga berencana. Tapi untuk gue, waktu itu, rasanya Rp 50,- itu mahal banget!

Chiki Snack dan Taro itu baru di-launch waktu gue awal-awal SD, dan jadi trend baru di kalangan anak SD. Pembagian Chiki dan Taro dilakukan di sekolah, ditambah dengan mainan-mainan gratis dari mereka. Nah, waktu baru launch, Chiki Snack terdiri dari banyak rasa, mulai dari rasa ayam, rasa keju, sampe rasa coklat! Baru sekarang-sekarang ini yang tersisa cuman satu rasa, kalo gak salah, rasa ayam. Mungkin karena rasa-rasa lain gak terlalu berhasil di pasaran. Sementara Taro Snack favorit gue adalah yang rasa Rumput Laut. Nah, waktu SD, Taro Snack sangat royal menaburkan rumput lautnya! Sayangnya, sekarang ini Taro Snack rumput laut dikit banget taburannya, dan lebih banyak asin dari krupuknya.

OK balik lagi ke sekolah.

Seminggu sekali, sebelum masuk kelas, kita selalu melakukan Senam Pagi yang merupakan kampanye nasional pemerintah. Waktu gue kelas 1 - 2 SD kita bersenam Senam Pagi Indonesia. Mulai kelas 3 SD kita bersenam Senam Kesegaran Jasmani (SKJ). Dan terakhir, waktu kelas 5 SD kita diajarin SKJ 1988.

Selain senam seminggu sekali, ada juga pelajaran olahraga yg dilakukan di lapangan olahraga Taruna Bakti di Jalan Suci, Bandung. Lapangannya gak satu kompleks dengan gedung sekolah karena emang di lahan sekolah di jalan Riau udah penuh banget. Walhasil, seminggu sekali pas pelajaran olah raga seluruh kelas digiring ke Lapangan Jalan Suci dengan bis sekolah. Selain olahraga biasa seperti lari dan atletik, kita juga diajarin olahraga permainan yang dimainin berkelompok. Cowok dan cewek dipisah. Nah, cewek-cewek dibagi jadi dua tim, yaitu tim Rajawali dan tim Garuda (atau Elang? Lupa persisnya). Waktu kita masih kecil-kecil, yang dimainkan adalah Kasti, sementara setelah udah agak besar (sekitar kelas 3-4) permainannya diupgrade menjadi permainan Rounders. Dua permainan itu pada dasarnya sama, seperti Softball/Baseball. Hanya, dalam Kasti cuma ada dua “pal” alias “base”, sementara pada Rounders ada beberapa pal. Selesai olahraga, kita beli Teh Botol dingin di ibu-ibu yang rumahnya nempel dengan lapangan kita. Waktu itu Teh Botol Sosro harganya masih Rp. 150 dan berangsur naik sampe jadi Rp. 450 waktu gue kelas 6 SD. Wah... seger! Abis itu, kita semua balik naik bis sekolah untuk balik ke gedung di Jalan Riau.

Selesai sekolah, seminggu sekali ada kegiatan ekstra kurikuler kesenian yang bisa kita pilih. Ada gamelan, degung, angklung atau paduan suara. Gue waktu itu memilih angklung. Yang ngajar angklung itu namanya Ibu Andjar, beliau guru cewek yang udah tua dan badannya kecil. Beliau adalah istri dari komposer yang bikin Hymne Taruna Bakti. Nah Bu Andjar ini, tak dinyana, kecil2 begitu, galak banget kalau kita salah-salah dalam memainkan angklung.

Intermezzo dikit: jaman dulu papan tulis di sekolah masih papan ijo dan ditulis dengan menggunakan kapur, dan untuk melengkapi ada penggaris kayu yang panjangnya semeter dan tebalnya 1cm. Lalu, di depan papan tulis juga ada dingklik, supaya anak SD yang kecil2 ini bisa nyampe nulis di papan yang paling tinggi.

Nah, Bu Andjar guru angklung itu, kalau marah, akan menghantam penggaris kayu gede ke dingklik kayu dan bikin suara GUBRAK yang terkeras yang pernah gue denger selama di SD! Lalu beliau akan marah2 dengan kesalahan angklung kita. Tambahan lagi, beliau galak banget sama pemain bass betot di koor angklung kita. Emang sih, main bas betot susah banget, dan pengharapan Bu Andjar untuk main bass betot dengan sempurna agak terlalu berat. Nah, kalo udah marah, selain menghantamkan penggaris, Bu Andjar akan berteriak “Dem! Dem!” sesuai dengan bunyi bas betot seiring dengan lagu yang dimainkan.

Selain ekskul angklung, sekali waktu gue pernah juga nyoba ikut paduan suara untuk lomba se-Bandung. Waktu itu kita nyanyi lagu “Imunisasi” dan menang jadi juara dua! It was really fun and I really like singing in that choir.

Pulang sekolah, sebelum pulang, kita menyempatkan diri untuk jajan di pedagang kaki lima yang udah nongkrong nungguin anak-anak SD pulang sekolah. Yang paling sering gue tongkrongin adalah tukang mainan, yang jualan boneka / Figure dari karton tipis yang bajunya bisa diganti-ganti. Gue dan Iik koleksi boneka ini banyak banget! Kalo ga salah harganya Rp 50 – Rp 100. Selain itu, ada juga tukang gulali yang warnanya merah yang bisa dibentuk macem-macem (bisa request juga!), lantas ada tukang “rambut nenek” – gula-gula serabut yang dimakan dengan kripik beras. Ada tukang lumpiah basah (favorit gue dari dulu sampe sekarang!), dan sempet juga ada tukang jual “ayam putih” yaitu batang-batang spageti kering yang digoreng dan dibumbuin. Dan banyak juga jajanan tradisional kayak gorengan (bala-bala, ubi goreng, singkong goreng, pisang goreng dan comro), cilok (adonan tepung aci yang digoreng dan dimakan dengan saos), dan cakue yang dimakan dengan saus merah sedap yang rasanya agak asem-asem. Juga ada yang jualan kue-kue tradisional seperti martabak manis kulit tipis isi coklat atau pisang atau keju, kue “tetek” yang warnanya hijau dan bentuknya kayak tetek, dan kue bolu bolu kecil yang ditaburi meses. Ada juga baso malang.

Dan yang legendaris dari Taruna Bakti adalah Baso Udin. Pada dasarnya basonya enak tapi biasa biasa aja. Yang jadi kelebihan adalah pesenan baso di mang Udin bisa custom-made banget. Mau pake seledri atau enggak, bawang goreng ekstra, pake bihun atau mi kuning, terserah. Dan abis itu biasanya orang-orang akan ngebumbuin basonya sendiri dengan deretan bumbu dan saos di gerobak mang Udin. Sayangnya baso Udin ini ‘terbatas’ untuk anak SMP ke atas, jadi blon cocok utk diceritain di sini, karena gue baru makan baso Udin setelah SMP.

Dan berjalanlah gue pulang ke rumah. Kadang-kadang mampir dulu di toko Riau, untuk beli permen susu cap kelinci, beli eskrim, atau beli Capucino kopi kotak. Abis itu, gue lanjut berjalan pulang, menyebrangi jalan Banda yang rame dan penuh deretan angkot ngetem. Waktu itu, Bandung masih penuh pohon-pohon besar menghias deretan jalan-jalannya. Andai Bandung tetep seperti itu..... hiks hiks..



Anak-anak Kelas 6 SD Taruna Bakti Study Tour ke TMII, berforo di Keong Mas IMAX (ki-ka): Rini (Tante), Anak Bu Hong (lupa namanya), Risa Wulan, Rani, Alda Armila


Read the full article...

Monday, May 09, 2005

Breastmilk Cream Soup

Today I made Cream of Carrot Soup, from my own breastmilk! The result is.. not bad..!

The soup was made from expressed breast milk that has been in the fridge for more than 48 hours and hence Noe can't drink it anymore - it's not sterile enough for his stomach. But I don't want to throw the milk away to trash! What a waste then! The milk is still good for cooking even though it is not as sterile.

The milk is creamy and rather sweet, so I did not need to add a dash of sugar to my cooking as I usually do.

Few weeks ago I discovered that Noe looks like a Chairman Mao, from this camera angle. Look at the 'bald head' and 'sideburns'

And Chairman Mao himself

And Noe has lost his neck too, the neck's all covered by his fatty face and chin!

Oh and for those of you who are still waiting (yeah.. right.. !) for my next nostalgic writing on Bandung 1978-1990, I plan to do it after this intermezzo posting. Be patient!


Read the full article...

Wednesday, May 04, 2005

1978-1990 Bandung - Part 1

WARNING: Artikel ini panjang banget, makanya tulisannya dibikin kecil.

Posting ini dalam bahasa indonesia preman untuk mewadahi ‘flow-of-thought’ yang sembarangan ngalir dari otak, mengenai masa kecil gue di Bandung, khususnya tahun 1978 hingga 1990. Tulisan semrawut, sembarangan dan gak penting ini mencoba menggali memori tentang masa itu, mulai dari rumah, pertelevisian, perfilman, makanan, belanja, dan jalan2 di Bandung pada masa itu.

Waktu itu Bandung masih sepi. Udaranya masih segar dan dingin – sampai kalau malam gak bisa tidur kalau tanpa selimut tebal. Pagi hari kalau nafas juga masih keluar uap dari mulut kita, saking dinginnya. Burung-burung juga berkicau di pagi dan sore hari. Jalanan gak macet. Betul2 beda dengan Bandung sekarang yang super semrawut.


(Bandung is no more "Paris of Java")


Bandung in the early 80s

Rumah 1978-1981

1978-1980 Jalan Wastukancana

Kenangan terawal yang ada di otak adalah ketika gue masih berusia sekitar dua tahun. Waktu itu kita masih tinggal di rumah kontrakan di jalan Wastukencana 4, di depan gedung Balaikota Bandung (sekarang rumah itu udah gak ada dan udah jadi showroom mobil Altamira). Kenangan di rumah itu memang agak samar samar, tapi menyenangkan.

Waktu itu, sekitar taun 79-80’an, gue suka diajak jalan-jalan di gendongan di sore hari yang adem ke Taman Balaikota Bandung, gak jauh dari rumah itu, kadang sama Ibu, kadang sama Bik Wat, pembantu gue semasa kecil. Di rumah Wastukencana itu juga tinggal seorang Tante orang ambon (lupa namanya..) yang ngajarin gue nyanyi Potong Bebek Angsa dari acara TV di TVRI. Kadang kita juga jalan ke samping Jl. Wastukencana, ke hotel Corner. Di deket rumah juga ada seorang kakek nenek etnis cina yang punya toko, dan mereka suka kasih permen.

Tahun 1980 itu gue juga suka ikut jemput kakak2 dari sekolah mereka di IKIP yang jauh banget di ujung dunia (Jl. Setiabudi) naik mobil daihatsu oranye.

Tahun itu, gue juga inget Opa (bapaknya nyokap) yang baik banget sama cucu-cucunya, tapi tahun 1980 dia meninggal. Gue masih inget pada acara persemayamannya di rumah Opa di Buah Batu, ante2 pada bilang ke gue, “Opa lagi tidur”. Kalo ga salah abis itu gue merangkak ke jenazah opa dan menyentuhnya (mungkin mau coba bangunin). Asli, ini ingatan di otak semua, bukan cerita dari ibu atau orang lain. Heran juga, bisa inget beberapa kenangan dari umur dua tahun dengan cukup jelas.

1981-1990 Jalan Riau

Terus sekitar tahun 1981 kita pindah rumah ke Jalan Riau.



Rani berdiri di pagar menghadap jalan Riau.
Lihat betapa sepi dan antiknya jalan dan bangunan di jalan Riau waktu itu!

Waktu pindahan itu, banyak sekali kasur ikut dipindah dan tergeletak bertumpuk di satu ruangan di rumah itu. Gue dan Iik (adik gue) bermain2 di deretan kasur yang luas itu, lompat lompat dan masuk ke dalam gulungan kasur kapuk – jaman dulu kasur dan bantal masih dari kapuk, bukan dari busa atau per. Rumah di jalan riau ini sampe sekarang apa yang gue pikir sebagai “RUMAH”, karena di sana gue tinggal dari 1981 sampai 1990 dengan keadaan rumah yang tidak banyak berubah – masih dalam lay-out model Belanda. Lantas tahun 1990 sampai sekarang rumah itu sudah banyak berubah karena pembangunan rumah sakit yang bermula dari klinik praktek Bapakku.



Rani dan Iik di teras rumah Jalan Riau abis mandi pagi


Rani di teras yang sama, perhatikan perabot rotan model klasik jaman dulu


Rani dan Iik main air di garasi rumah, saking kecilnya kita berdua bisa muat di ember


Rani dan Iik di ruang kerja Bapak.
Perhatikan ubin khas rumah belanda yang polanya sambung menyambung.
Sekarang gak tau kemana ubin-ubin itu.. hiks

Rumah Jalan Riau antara 1981-1990 rasanya luas banget dan menyenangkan. Ibu senang berkebun dan bercocok tanam, jadilah halaman depan dan halaman dalam penuh ditanami pohon2 buah. Di depan rumah, ada trade-mark khas yang menandai rumah kami yaitu dua pohon pinus yang tinggi banget. Ibu terus menanam rumput gajah supaya anak2 bisa main2 di halaman depan dengan berbaring2 di rumput. Ibu juga menanam pohon jambu, pohon asam, pohon kemboja, dan pohon duren yang sumpah enak banget hasilnya! Di halaman dalam rumah ada pohon jambu merah yang rajin banget berbuahnya. Jadi ingat rutinitas sore hari adalah menjolok jambu kalo lagi musim panen. Di halaman dalam ini juga ada ayunan tempat gue, Iik, dan mbak Andin main main. Sementara di halaman belakang, di sisi klinik tempat praktek Bapak, ada pohon lengkeng yang juga rajin berbuah dan manis sekali. Semua pepohonan dan halaman itu sekarang sudah almarhum.



Rani dan Mbak Andin di halaman depan rumah, duduk nyaman di atas rumput gajah

Selain memanjati pohon2 di rumah, gue dan Iik juga suka main di atap rumah. Kebetulan ada bagian atap yang cukup datar, dan kadang bagian genteng yang miring kita panjatin sampai puncaknya. Seringkali habis kedinginan mandi kita pergi ke atap untuk berjemur telanjang. Sementara Mas Dede sering main layangan di atap itu juga. Atap rumah kita berada di jalur pesawat, sehingga selalu ribut dengan suara pesawat lewat (meski tidak terlalu rendah terbangnya).

TV Pada Tahun 1978-1990

Ruang makan di rumah Jalan Riau itu luas banget sehingga dibagi dua, untuk makan dan juga untuk nonton TV.




Rani main sepeda di ruang makan / ruang TV. Di background ada Piano merk Fayette S. Cable (American Saloon Piano) yang sampe sekarang masih jalan, lalu ada kursi tinggi utk anak balita makan. Perhatikan jendelanya yang masih klasik Belanda dengan kaca patri kuning


Sampai tahun 1990 TV kita tidak ganti-ganti, tetap pake TV Grundig antik yang masih pake pintu kanan kiri nya, dan dengan lapisan model kayu. Pindah channelnya gak pakai remote control, tapi pake kenop yang bunyinya ceklek ceklek. Jaman sekarang udah gak ada TV kayak begini.

Dan sampe tahun 1988 kita gak punya video, karena Bapak gak mau anaknya nonton video melulu. Akhirnya kita nonton video di rumah sepupu kita atau rumah orang lain, misalnya nonton video Cinderella, Goggle Five atau Voltus V. Film video favorit gue waktu itu adalah “Nakalnya Anak-Anak” yang dibintangi Ira Maya Sopha, Ria Irawan, Dina Mariana, Ryan Hidayat, dan Kiki. Akhirnya tahun 1988 kita punya video player, Sony, yang gak bisa ngerekam, dan itu pun dikasih orang. Langsung kita daftar keanggotaan Video Rental di toko “Boss” di jalan Dago. Jaman itu video model Beta marak di mana-mana, dan video rental menyewakan video dengan tiga warna: Hijau untuk semua umur, Biru untuk 13 tahun ke atas, dan Merah untuk 17 tahun ke atas. Kalo gue dan Iik sukanya minjem Candy-candy, Ikkyu San, dan Lulu si putri bunga. Sementara kakak2 kita suka minjem video clip lagu-lagu barat, film2 chick flick tahun 80-an seperti Flashdance dan semacamnya, atau film2 seri mandarin.

Semasa kecil kita demen banget nonton TV. Jaman dulu cuma ada satu setengah channel, yaitu TVRI, yang siaran dari jam empat sampai tengah malam, dan TVRI Programma Dua dari jam setengah tujuh sampe jam sembilan. Pertengahan 80-an muncul juga TVRI stasiun bandung, tapi acaranya bapuk banget sehingga kita gak pernah nonton. Boleh dibilang acara TVRI jaman dulu lumayan bisa dibilang bermutu, dibanding acara TV swasta jaman sekarang (yang penuh dengan Buser, sinetron gak jelas, dan berita gosip). Tapi ya itu, media TV super terkontrol dengan pesan-pesan pemerintah.

TVRI Programma Dua dimulai dengan berita bahasa inggris, dan dilanjutkan dengan pelajaran bahasa inggris “Follow Me” yang didapat dari BBC TV dengan pak Anton Hilman. Channel ini gak banyak kegiatan lainnya.

Setiap hari, TVRI Pusat menayangkan empat berita: Berita jam 5 (lupa namanya) yang diisi dengan kegiatan pak Harto dan menteri-menterinya, Berita Nasional (jam 7) juga sama dengan berita jam 5, lalu Dunia Dalam Berita (jam 9) yang menyajikan berita internasional (kita gak pernah melewatkan nonton ini), dan terakhir, tentunya Berita Terakhir (jam 11 malam). Habis Berita Nasional selalu diputer lagu Garuda Pancasila.


Tidak lupa acara adu kepintaran seperti Kelompencapir, Cerdas Cermat, Cepat Tepat. Lalu ada acara untuk kegiatan anak-anak seperti acara Bu Kasur, Ayo Menyanyi (Ibu Fat, dan yang main piano namanya Ibu Meinar), Lagu Pilihanku (bersama Ibu Mul), dan Mari Menggambar bersama pak Tino Sidin. Pak Tino Sidin selalu bilang gambar-gambar yang dikirim “Bagus”. Tak lupa acara2 lokal untuk orang dewasa seperti Mimbar Agama, Dari Desa Ke Desa, Sinetron Losmen, dan Apresiasi Film Indonesia. Acara2 musik lokal juga disiarkan pada weekdays seperti Aneka Ria Safari, dan kuis Berpacu dalam Melodi. Setiap sore, sekitar pukul 5.30, TVRI diisi dengan kartun-kartun dari luar negeri, seperti Silverhawk, Thundercats, Teenage Mutant Ninja, dan kartun HC Andersen. Lalu dilanjutkan dengan Muppet Show. Malam hari, sekitar jam 8, muncul film seri dewasa dari luar negeri, seperti Hunter, Charlie’s Angels, Dynasty, Sledge Hammer, The Bold and The Beautiful (Masih main ampe sekarang!), bahkan Oshin. Pokoknya, bisa dibilang acaranya bagus-bagus.

Pada hari minggu TVRI bersiaran mulai pagi jam 7 hingga jam 1-an. Lantas istirahat, dan siaran lagi mulai jam 4 sore hingga tengah malam. Minggu pagi diisi dengan acara Sandiwara Boneka Unyil, Ria Jenaka, acara untuk Ibu dan Remaja Putri (masak memasak dan kecantikan), Album Minggu Kita, Dari Gelanggang Ke Gelanggang, dan ditutup dengan film wajib: Little House in the Prairie alias Laura Ingalls Wilder bersama Almanzo Wilder. Setelah seri Little House habis, digantikan dengan Highway to Heaven. Dan setelah seri HtH habis, diganti dengan telenovela Escrava Isaura yang didubbing dalam bahasa inggris (nantinya jadi telenovela pertama yang didubbing bahasa Indonesia, "Tuan Baron, Tuan Baron").

Sorenya, kalo hari minggu pasti ada acara Aneka Ria Anak Nusantara, yg berisi persembahan acara oleh anak-anak dari 27 provinsi di Indonesia.

Pada hari lebaran tidak lupa acara TV Papiko, yang dibintangi artis-artis tenar, merupakan tontonan wajib pada masa puasa dan lebaran. Gak lupa siaran film G30S PKI setiap 30 September malam (indoktrinasi Order Baru), dan relay upacara-upacara bendera pada hari-hari nasional.

Pada jaman itu acara TV tidak didubbing bahasa Indonesia, melainkan pakai subtitle. Walhasil kita lebih belajar bahasa Inggris dan lebih jago membaca subtitle. Rasanya lebih baik begitu.

Jaman itu TVRI gak pake iklan, padahal sebelumnya di era 70-an TVRI pun beriklan (Siaran Niaga, namanya). Sehingga gue, dengan noraknya, kangen nonton iklan TV. Untung ada sepupu yang merekam Siaran Niaga tahun 70-an di video, sehingga gue bisa dengan puas nonton iklan2 TV, antara lain iklan Pepsodent, Hemaviton (orang naik tangga spiral), dan Fuji Film (orang berselancar).

Gue gak bisa omong banyak mengenai TV swasta karena TV swasta baru masuk Bandung di era awal 90-an. Tapi yang gue ingat, tiap ke Jakarta mengunjungi saudara selalu nonton RCTI yang masih disiarkan dengan dekoder. Acaranya bagus-bagus, antara lain, MacGyver, Tour of Duty, bahkan Sekilas Musik RCTI-nya juga bagus-bagus. Rasanya ga mau pulang ke Bandung karena acara TV-nya membosankan.

Perfilman di Bandung Pada Tahun 1978-1990

Pada masa itu, belum ada jaringan Sinepleks 21. Bioskop2 berdiri sendiri dan sizenya besar. Gue lupa, pake AC atau enggak. Menonton film bioskop adalah kegiatan keluarga. Gue rada jarang nonton bioskop karena “belum 17 tahun”, tapi kalau pergi nonton biasanya nonton film Indonesia seperti Nagabonar, Tjoet Nyak Dhien, atau film barat seperti Supergirl.

Di ujung Jalan Merdeka ada bioskop Vanda. Di sana gue nonton Tjoet Nyak Dhien. Lantas di ujung jalan Braga dekat rel kereta api ada Bioskop President, bareng dengan Restaurant President, di sana nonton The Sound of Music. Lalu di bioskop di daerah alun-alun kita nonton Nagabonar. Lalu ada juga bioskop Paramount, tapi lupa lokasinya di mana.

Dulu Festival Film Indonesia marak banget. Waktu FFI diadakan di bandung, artis-artis film berpawai di mobil keliling jalan protokol (Dago), dan orang2, termasuk gue, berbondong2 nonton pawai ini. Waktu itu gue masih kecil, berteriaklah ke Ria Irawan itu “Eh, kamu itu bintang film ya?”, dan dia jawab “Iya dong kita bintang film”, wah seneng Ria Irawan jawab pertanyaan gue dari dekat.


Read the full article...

Tuesday, May 03, 2005

Visited Countries

I found create your own visited countries map from Trisha Ratna's website and I tried to create my own map, which you can see below:


Read the full article...